Friday, May 21, 2010

Ganesa



Ganesa (Sanskerta गणेश ; ganeṣa adalah salah satu dewa terkenal dalam agama Hindu dan banyak dipuja oleh umat Hindu, yang memiliki gelar sebagai Dewa pengetahuan dan kecerdasan, Dewa pelindung, Dewa penolak bala/bencana dan Dewa kebijaksanaan. Lukisan dan patungnya banyak ditemukan di berbagai penjuru India; termasuk Nepal, Tibet dan Asia Tenggara. Dalam relief, patung dan lukisan, ia sering digambarkan berkepala gajah, berlengan empat dan berbadan gemuk. Ia dikenal pula dengan nama Ganapati, Winayaka dan Pilleyar. Dalam tradisi pewayangan, ia disebut Bhatara Gana, dan dianggap merupakan salah satu putera Bhatara Guru (Siwa). Berbagai sekte dalam agama Hindu memujanya tanpa mempedulikan golongan. Pemujaan terhadap Ganesa amat luas hingga menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di luar India.[1]

Meskipun ia dikenal memiliki banyak atribut, kepalanya yang berbentuk gajah membuatnya mudah untuk dikenali. Ganesa mahsyur sebagai "Pengusir segala rintangan" dan lebih umum dikenal sebagai "Dewa saat memulai pekerjaan" dan "Dewa segala rintangan" (Wignesa, Wigneswara), "Pelindung seni dan ilmu pengetahuan", dan "Dewa kecerdasan dan kebijaksanaan". Ia dihormati saat memulai suatu upacara dan dipanggil sebagai pelindung/pemantau tulisan saat keperluan menulis dalam upacara.[2] Beberapa kitab mengandung anekdot mistis yang dihubungkan dengan kelahirannya dan menjelaskan ciri-cirinya yang tertentu.

Ganesa muncul sebagai dewa tertentu dengan wujud yang khas pada abad ke-4 sampai abad ke-5 Masehi, selama periode Gupta, meskipun ia mewarisi sifat-sifat pelopornya pada zaman Weda dan pra-Weda.[3] Ketenarannya naik dengan cepat, dan ia dimasukkan di antara lima dewa utama dalam ajaran Smarta (sebuah denominasi Hindu) pada abad ke-9. Sekte para pemujanya yang disebut Ganapatya, (Sanskerta: गाणपत्य; gāṇapatya), yang menganggap Ganesa sebagai dewa yang utama, muncul selama periode itu.[4] Kitab utama yang didedikasikan untuk Ganesa adalah Ganesapurana, Mudgalapurana, dan Ganapati Atharwashirsa.

Penggambaran

Ganesa adalah figur yang terkenal dalam kesenian India. Citra tentang Ganesa menjamur di berbagai penjuru India sekitar abad ke-6.[12] Tidak seperti dewa-dewi lainnya, penggambaran sosok Ganesa memiliki berbagai variasi yang luas dan pola-pola berbeda yang berubah dari waktu ke waktu. Dia kadangkala digambarkan berdiri, menari, beraksi dengan gagah berani melawan para iblis, bermain bersama keluarganya sebagai anak lelaki, duduk di bawah, atau bersikap manis dalam suatu keadaan.

Biasanya Ganesa digambarkan berkepala gajah dengan perut buncit. Patungnya memiliki empat lengan, yang merupakan penggambaran utama tentang Ganesa. Dia membawa patahan gadingnya dengan tangan kanan bawah dan membawa kudapan manis, yang ia comot dengan belalainya, pada tangan kiri bawah. Motif Ganesa yang belalainya melengkung tajam ke kiri untuk mencicipi manisan pada tangan kiri bawahnya adalah ciri-ciri yang utama dari zaman dulu. Patung yang lebih primitif di Gua Ellora dengan ciri-ciri umum tersebut, ditaksir berasal dari abad ke-7.[13] Dalam perwujudan yang biasa, Ganesa digambarkan memegang sebuah kapak atau angkus pada tangan sebelah atas dan sebuah jerat pada tangan atas lainnya.

Pengaruh unsur-unsur kuno dalam susunan penggambaran tersebut masih bisa diamati dalam penggambaran Ganesa secara kontemporer. Dalam sebuah penggambaran modern, satu-satunya variasi terhadap unsur-unsur kuno adalah tangan kanan bawah Ganesa tidak memegang patahan gading namun seolah-olah terarah ke mata pengamat dengan gerak tangan yang melambangkan perlindungan atau penyingkir ketakutan (abhaya mudra).[14] Kombinasi yang sama terhadap empat lengan dan atribut, muncul pada patung Ganesa yang sedang menari, yang merupakan tema terkenal.






sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ganesha

Penyimpangan pengertian antara Warna dan kasta dalam Hindu

Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: वर्ण; varṇa). Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti "memilih (sebuah kelompok)". Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu.

Dalam tradisi Hindu, Jika seseorang ahli dalam bidang kerohanian maka ia menyandang status Brāhmana. Jika seseorang ahli atau menekuni bidang administrasi pemerintahan ataupun menyandang gelar sebagai pegawai atau prajurit negara, maka ia menyandang status Ksatriya. Apabila seseorang ahli dalam perdagangan, pertanian, serta profesi lainnya yang berhubungan dengan niaga, uang dan harta benda, maka ia menyandang status Waisya. Apabila seseorang menekuni profesi sebagai pembantu dari ketiga status tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya), maka ia menyandang gelar sebagai Sudra.

Brahmana merupakan golongan pendeta dan rohaniwan dalam suatu masyarakat, sehingga golongan tersebut merupakan golongan yang paling dihormati. Dalam ajaran Warna, Seseorang dikatakan menyandang gelar Brahmana karena keahliannya dalam bidang pengetahuan keagamaan. Jadi, status sebagai Brahmana tidak dapat diperoleh sejak lahir. Status Brahmana diperoleh dengan menekuni ajaran agama sampai seseorang layak dan diakui sebagai rohaniwan.

Ksatriya merupakan golongan para bangsawan yang menekuni bidang pemerintahan atau administrasi negara. Ksatriya juga merupakan golongan para kesatria ataupun para Raja yang ahli dalam bidang militer dan mahir menggunakan senjata. Kewajiban golongan Ksatriya adalah melindungi golongan Brahmana, Waisya, dan Sudra. Apabila golongan Ksatriya melakukan kewajibannya dengan baik, maka mereka mendapat balas jasa secara tidak langsung dari golongan Brāhmana, Waisya, dan Sudra.

Waisya merupakan golongan para pedagang, petani, nelayan, dan profesi lainnya yang termasuk bidang perniagaan atau pekerjaan yang menangani segala sesuatu yang bersifat material, seperti misalnya makanan, pakaian, harta benda, dan sebagainya. Kewajiban mereka adalah memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) golongan Brahmana, Ksatriya, dan Sudra.

Sudra merupakan golongan para pelayan yang membantu golongan Brāhmana, Kshatriya, dan Waisya agar pekerjaan mereka dapat terpenuhi. Dalam filsafat Hindu, tanpa adanya golongan Sudra, maka kewajiban ketiga kasta tidak dapat terwujud. Jadi dengan adanya golongan Sudra, maka ketiga kasta dapat melaksanakan kewajibannya secara seimbang dan saling memberikan kontribusi.

Sistem kerja

Caturwarna menekan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Golongan Brahmana diwajibkan untuk memberi pengetahuan rohani kepada golongan Ksatriya, Waisya, dan Sudra. Golongan Ksatriya diwajibkan agar melindungi golongan Brahmana, Waisya, dan Sudra. Golongan Waisya diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan material golongan Brahmana, Ksatriya, dan Sudra. Sedangkan golongan Sudra diwajibkan untuk membantu golongan Brahmana, Ksatriya, dan Waisya agar kewajiban mereka dapat dipenuhi dengan lebih baik.

Keempat golongan tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya, Sudra) saling membantu dan saling memenuhi jika mereka mampu melaksanakan kewajibannya dengan baik. Dalam sistem Caturwarna, ketentuan mengenai hak tidak diuraikan karena hak diperoleh secara otomatis. Hak tidak akan dapat diperoleh apabila keempat golongan tidak dapat bekerja sama. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Caturwarna terjadi suatu siklus "memberi dan diberi" jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.

Karena status seseorang tidak didapat semenjak lahir, maka statusnya dapat diubah. Hal tersebut terjadi jika seseorang tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana status yang disandangnya. Seseorang yang lahir dalam keluarga Brāhmana dapat menjadi seorang Sudra jika orang tersebut tidak memiliki wawasan rohani yang luas, dan juga tidak layak sebagai seorang pendeta. Begitu pula seseorang yang lahir dalam golongan Sudra dapat menjadi seorang Brāhmana karena memiliki pengetahuan luas di bidang kerohanian dan layak untuk menjadi seorang pendeta.


Penyimpangan

Banyak orang yang menganggap Caturwarna sama dengan Kasta yang memberikan seseorang sebuah status dalam masyarakat semenjak ia lahir. Namun dalam kenyataannya, status dalam sistem Warna didapat setelah seseorang menekuni suatu bidang/profesi tertentu. Sistem Warna juga dianggap membeda-bedakan kedudukan seseorang. Namun dalam ajarannya, sistem Warna menginginkan agar seseorang melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya.

Kadangkala seseorang lahir dalam keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi dan membuat anaknya lebih bangga dengan status sosial daripada pelaksanaan kewajibannya. Sistem Warna mengajarkan seseorang agar tidak membanggakan ataupun memikirkan status sosialnya, melainkan diharapkan mereka melakukan kewajiban sesuai dengan status yang disandang karena status tersebut tidak didapat sejak lahir, melainkan berdasarkan keahlian mereka. Jadi, mereka dituntut untuk lebih bertanggung jawab dengan status yang disandang daripada membanggakannya.

Di Indonesia (khususnya di Bali) sendiri pun terjadi kesalahpahaman terhadap sistem Catur Warna. Catur Warna harus secara tegas dipisahkan dari pengertian kasta. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Drs. I Gusti Agung Gde Putera, waktu itu Dekan Fakultas Agama dan Kebudayaan Institut Hindu Dharma Denpasar pada rapat Desa Adat se-kabupaten Badung tahun 1974. Gde Putera yang kini Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama mengemukakan[2]:
“ Kasta-kasta dengan segala macam titel-nya yang kita jumpai sekarang di Bali adalah suatu anugerah kehormatan yang diberikan oleh Dalem (Penguasa daerah Bali), oleh karena jasa-jasa dan kedudukannya dalam bidang pemerintahan atau negara maupun di masyarakat. Dan hal ini diwarisi secara turun temurun oleh anak cucunya yang dianggap sebagai hak, walaupun ia tidak lagi memegang jabatan itu. Marilah jangan dicampur-adukkan soal titel ini dengan agama, karena titel ini adalah persoalan masyarakat, persoalan jasa, persoalan jabatan yang dianugerahkan oleh raja pada zaman dahulu. Dalam agama, bukan kasta yang dikenal, melainkan "warna" dimana ada empat warna atau Caturwarna yang membagi manusia atas tugas-tugas (fungsi) yang sesuai dengan bakatnya. Pembagian empat warna ini ada sepanjang zaman. ”

Menurut I Gusti Agung Gede Putera, kebanggaan terhadap sebuah gelar walaupun jabatan tersebut sudah tidak dipegang lagi merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun. Menurutnya, agama Hindu tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang dipakai adalah sistem Warna.

referensi:

* Ketut Wiana dan Raka Santeri, Kasta dalam Hindu – kesalahpahaman selama berabad-abad. Penerbit: Yayasan Dharma Naradha. ISBN 979-8357-03-5

* I Gusti Agung Oka, Slokantara. Penerbit: Hanumān Sakti, Jakarta.





sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Warna_(Hindu)

Agama Hindu Bukan Agama Bumi dan Weda Ilmiah

Oleh Ida Pandita Mpu Siwa-Budha Daksa Dharmita

AGAMA Hindu merupakan agama yang tertua di dunia. Ini pendapat orang-orang non-Hindu. Agama Hindu, kitab sucinya Weda adalah wahyu Tuhan yang diturunkan melalui para Maharsi yang jumlahnya tujuh Maharsi yang disebut Sapta Rsi (Rsi Grtsamada, Rsi Wiswamitra, Rsi Wamadewa, Rsi Atri, Rsi Baharadwaja, Rsi Wasista dan Rsi Kanwa). Wahyu/sabda Brahman inilah dituangkan dalam bentuk tulisan yang diberi nama Weda Sruti (Rg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan Atharwa Weda). Manakala ada pertanyaan apakah Weda Sruti ilmiah, dengan tegas harus dijawab ilmiah. Hal ini sudah dibuktikan kebenarannya. Yang membuktikan adalah orang Hindu dan bahkan non-Hindu.

------------------------------

Kebijaksanaan Weda meliputi cara kerja kosmos pada segala tingkatan dari pinda (mikrokosmos) sampai pada Brahmanda (makrokosmos). Seperti yang dinyatakan oleh Swami Sri Bharati Krsna Tyirthaji Maharaja, seorang sarjana Weda dan matematika, bahwa: ''Kata Weda memiliki arti awal sebagai sumber utama dan khazanah tak terbatas dari segala pengetahuan.'' Tidak hanya berhubungan dengan apa yang disebut spiritual atau materi dunia lain, tetapi juga pengetahuan yang berkaitan dengan apa yang biasa digambarkan sebagai duniawi murni dan juga terhadap cara pencairan oleh manusia sedemikian rupa guna mencapai keberhasilan yang sempurna pada segala arah yang diamati.

Sebagai akibat dari keuniversalan Weda, ia hanya berurusan dengan kehidupan dunia luar dan kegiatan manusia, seperti juga keberadaan yang ada di dalamnya, dalam jiwa atau kesadaran tertinggi. Bukti yang terbaik tentang epistemologi ''pengetahuan keilmuwan'' ini ditemukan dalam Wedanta Chandogia Upanisad. Di sini si pencari Brahmawidya/teologi diminta oleh gurunya seberapa jauh ia telah maju dalam belajar dan mencari keahlian dalam pokok-pokok permasalahan seperti sejarah (itihasa), literatur (purana), matematika (rasia vidya), ekonomi (nidhi-vidya), filsafat/logika (vakya-vidya), etika dan politik (ekayatana), fisika (bhuta-vidya), ilmu kemiliteran (ksatrya-vidya), astronomi (naksatra-vidya), sosial-psikologi (jana-vidya). Wedangnga juga termasuk pokok-pokok permasalahan ini seperti siksa (ilmu pengucapan kata-kata), chanda (ilmu perpajakan), vyakarana (ilmu tata bahasa), nirukta (etimologi), kalpa (ilmu tentang kewajiban pribadi, keluarga dan masyarakat).



Fakta Ribuan Tahun

Kenyataannya, dalam beberapa bidang pengetahuan, ilmu pengetahuan modern telah menemukan fakta-fakta yang sebelumnya sudah ada dalam literatur Weda ribuan tahun silam. Dalam pelajaran filsafat ilmu, pengetahuan astronomi tentang peredaran, India pada masa Weda menunjukkan bahwa apa yang diketahui para astonom tentang peredaran bumi mengelilingi matahari, jauh sebelum Copernicus mendapat peringatan dan Galileo Galilei disiksa karena penemuannya. Penghormatan tinggi yang sama telah diberikan pada pengetahuan keilmuwan dalam Wedanta oleh para sarjana Barat. Gerald Heard mengatakan, ''Wedanta sangat ilmiah tentang --hukum-hukum yang mengatur alam semesta. Demikian juga Dr. Kenneth Walker yang menyanjung kebijaksanaan Weda dan mengatakan, ''Wedanta merupakan suatu usaha untuk meringkas seluruh pengetahuan manusia dan membuat manfaat seluruh pengalaman manusia. Pada suatu saat ia adalah agama, pada saat lainnya filsafat dan saat lainnya lagi ilmu pengetahuan.'' Dengan kata lain 3 pilar ilmu pengetahuan dunia, terdapat di dalam kitab suci Hindu (Weda) yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Dalam masalah spiritual-etika ''aksiologi'': menguraikan tentang intuisi sebagai pasyati buddhi -- kecerdasan melihat dan juga ritabhrah atau ''kecerdasan yang menyangga kebenaran'' yang memahami realitas secara spontan dan sempurna, tanpa penerimaan suatu jejak ketidakbenaran. Dalam terminologi modern, ia dikenal sebagai supra-nalar atau persepsi supra-rasional.



Keangkuhan Itu

Dalam Wedanta-Srimad Bhagavatam, Narada mengatakan bahwa, ''Manusia di bumi ini didatangi oleh jenis mada, keangkuhan yang berbeda. Seorang pangeran angkuh, seorang sarjana kadang-kadang angkuh. Tetapi ada keangkuhan dari suatu jenis berbeda: berbeda dari yang lainnya dan yang jauh lebih buruk. Adalah keangkuhan yang lahir dari sri, kekayaan. Sebab dengan kekayaan, manusia terlibat dengan perempuan, dengan perjudian, dengan bermabukan dan manakala keangkuhan hebat seperti itu mendatangi dia, manusia kehilangan perspektif, menjadi tuli dan digerogoti oleh para buta-kala dan akan melanggar peraturan-peraturan azas legalitas yang telah disahkan oleh banyak orang, bukan pribadi. Maka manusia akan kehilangan pengendalian dirinya dan ia menjadi tanpa keramahan. Ia memperdaya dirinya ke dalam pemikiran bahwa badan ini permanen. Hanya orang bodoh yang menganggap badan ini abadi. Karena ia tidak mengetahui perbedaan antara badan dan penghuni di dalamnya: Deha dan Dehin itu. Bagi cendekiawan/intelektual yang ditutupi keangkuhan satu-satunya pengobatan adalah kemiskinan. Hanya orang miskin yang mengetahui bahwa ia sama dengan binatang. Vidyamada, keangkuhan karena pengetahuan, dhanamada, keangkuhan karena kekayaan, kulamada keangkuhan karena kelahiran: 'seorang yang tidak menderita ketiga penyakit mada itu, tentu saja mustahil untuk ditemukan. Hanya orang miskin yang bebas dari mada ini dan penderitaannya adalah tapa yang ia laksanakan menuju dunia yang lebih kekal sebanding dunia ini. Tetapi seorang sadaka yang mempunyai ketenangan batin biar bagaimana pun, tidak hanya perasaan selain bhakti kepada Narayana; Tuhan Yang Esa. Tidak ada manfaatnya bagi orang yang tercela yang mabuk dengan kekuasaan.''

Berdasarkan ulasan di atas pada Hari Raya Galungan ini, yang perlu diingat bahwa kebajikan atau dharma harus didasarkan kebenaran, telah didefinisikan segi hukum keadilan dan keselarasan, yang bersatu padu dalam struktur alam semesta, seperti dikehendaki Tuhan. Oleh karena itu, bagi si pencari kebenaran, kebajikan/dharma akan berarti menuntun suatu kehidupan yang adil dan harmonis dalam semua hubungan dengan yang lainnya pada berbagai tingkatan, baik di rumah maupun dalam masyarakat, bangsa dan sebagainya.



Penulis, rohaniwan/teolog Hindu, anggota Sabha Pandita PHDI Pusat, anggota/peserta Program Pascasarjana (S2) Kajian Budaya Unud dan Brahma Widya IHDN Denpasar

-------------



* Kebijaksanaan Weda meliputi cara kerja kosmos pada segala tingkatan dari pinda (mikrokosmos) sampai pada Brahmanda (makrokosmos).

* Tiga pilar ilmu pengetahuan dunia terdapat di dalam kitab suci Hindu (Weda) yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.

* Hari raya Galungan ini, yang perlu diingat bahwa kebajikan atau dharma harus didasarkan kebenaran, telah didefinisikan segi hukum keadilan dan keselarasan, yang bersatu padu dalam struktur alam semesta, seperti dikehendaki Tuhan.

* Bagi si pencari kebenaran, kebajikan/dharma akan berarti menuntun suatu kehidupan yang adil dan harmonis dalam semua hubungan dengan yang lainnya pada berbagai tingkatan, baik di rumah maupun dalam masyarakat, bangsa dan sebagainya.

Weda pada wikipedia

Weda (Sanskerta: वेद; Vid, "ilmu pengetahuan") adalah kitab suci agama Hindu. Weda merupakan kumpulan sastra-sastra kuno dari zaman India Kuno yang jumlahnya sangat banyak dan luas. Dalam ajaran Hindu, Weda termasuk dalam golongan Sruti (secara harfiah berarti "yang didengar"), karena umat Hindu percaya bahwa isi Weda merupakan kumpulan wahyu dari Brahman (Tuhan). Weda diyakini sebagai sastra tertua dalam peradaban manusia yang masih ada hingga saat ini. Pada masa awal turunnya wahyu, Weda diturunkan/diajarkan dengan sistem lisan — pengajaran dari mulut ke mulut, yang mana pada masa itu tulisan belum ditemukan — dari guru ke siswa. Setelah tulisan ditemukan, para Resi menuangkan ajaran-ajaran Weda ke dalam bentuk tulisan.[1] Weda bersifat apaurusheya, karena berasal dari wahyu, tidak dikarang oleh manusia, dan abadi.[2] Maharesi Byasa, menyusun kembali Weda dan membagi Weda menjadi empat bagian utama, yaitu: Regweda, Yajurweda, Samaweda dan Atharwaweda. Semua itu disusun pada masa awal Kaliyuga.

Etimologi

Secara etimologi, kata Weda berakar dari kata vid, yang dalam bahasa Sanskerta berarti "mengetahui", dalam rumpun bahasa Indo-Eropa berakar dari kata weid, yang berarti "melihat" atau "mengetahui".[3] weid juga merupakan akar kata dari wit dalam Bahasa Inggris, sebagaimana kata vision dalam bahasa Latin.

Upaweda

Upaweda merupakan turunan dari Weda yang merupakan jurusan ilmu yang lebih spesifik dalam aplikasi kehidupan. Upaweda digolongkan dalam beberapa jurusan, antara lain:

* Ayurweda - Ilmu pengobatan.
* Dhanurweda - Seni bela diri dan persenjataan.

Ayurveda dan Dhanurveda memiliki beberapa kesamaan dalam kegiatan prakteknya. Keduanya bekerja dengan memanfaatkan Marma, energi Prana yang mengalir di dalam tubuh. Ayurveda berfungsi mengobati badan jasmani, sedangkan Dhanurveda memanfaatkan energi prana sebagai pelindung tubuh. Konsep ini juga dikenal dalam ilmu pengetahuan di Cina, dalam akupuntur dan seni beladiri-nya.

* Stahapatya Veda - Ilmu Arsitektur, Seni Pahat dan Ilmu Geomansi.
* Gandharv Veda - Seni musik, sajak dan tari

Beberapa bidang ilmu seperti Jyotisha (Ilmu Astrologi), Tantra, Shiksha dan Vyakara (Ilmu Tata Bahasa) juga bersumber pada Weda.






sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Weda